Tuesday, August 27, 2013

balada hati yang terluka



“Mas aku minta kita pisah aja. Aku sudah ngga kuat. Kamu silahkan pergi dengan wanita itu. Biarkan aku cari kebahagiaanku sendiri, Mungkin disini bukan tempatku..” ucapku entah sudah kesekian kali. Aku sudah benar-benar lelah dengan sikapnya. Aku sudah benar-benar yakin untuk tak lagi bersamanya.
“Kenapa kamu masih minta pisah? Kan mas udah bilang, tetap kamu dan Rino yang utama di hidup mas. Kalian yang paling mas sayang. Mas Cuma main-main sama dia.“ begitu ujar mas Dio, suami sekaligus ayah dari anak kami, Rino. Entah kapan terakhir aku melihat sosok yang dulu kucinta. Mas Dio sudah berubah, benar-benar berubah.. atau aku yang baru menyadarinya?
Mungkin memang salahku juga dahulu terlalu membatasinya, terlalu banyak mengatur hidupnya. Itu pulalah salah satu alasan yang membuatku tetap bertahan menerima sikapnya selama 2 tahun terakhir ini. Awalnya dia bilang dia hanya bermain dengan wanita itu, dan aku tak kuat membayangkan makna kata “bermain” yang dia maksudkan. Dia bilang dia tak mungkin melanjutkan hidup dengan wanita seperti dia. Dia bilang tetap hanya akan ada aku dan Rino di hidupnya. Dia bilang ... ah, apa mungkin dia mengatakan hal yang sama kepada wanita itu?
Entah siapa yang sedang dipermainkan. Aku hanya tak mengerti mengapa dia tak memperbolehkan kami pergi, tapi tak memperdulikan kami. Apakah dia tahu Rino membutuhkan ayahnya? Apakah dia tak ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Rino? Apakah semua waktu “main”nya lebih penting dibandingkan waktu bermain dengan anaknya?
“Pokoknya mas ngga mau kita pisah. Kamu jangan cari tau tentang wanita itu. Yang perlu kamu tau, kamu dan Rino adalah keluarga mas satu-satunya. Mas sayang sama kalian dan mas butuh kalian di hidup mas.”, ucapnya lagi.
“Mas pengen kamu berubah, kalau mas udah merasa kamu berubah, mas pasti akan berubah juga. Mas akan balik lagi ke kamu. Cuma kamu. Ninggalin dia gampang banget buat mas. Masa kamu ngga percaya sama mas? Dulu aja mas bisa bertahan dengan sikap kamu yang selalu ngatur-ngatur hidup mas.”
Kembali masalah itu dibahas.. dan akhirnya, selalu berakhir begini. Kami tidak berpisah dan aku tenggelam dalam tangisanku. Tangisan yang selalu kusembunyikan dari Rino, kesayanganku.

*********
“Bun, hari minggu besok, ayah libur kan? Rino mau makan pizza dong bunn.”, pinta Rino.
“Iya nak, Nanti bunda bilang ke ayah yaa.”
*********
“Mas, Rino minta makan pizza hari minggu. Mas bisa ngga?”, tanyaku.
“Belum tau. Aku sibuk.”, jawabnya acuh tak acuh.
“Memangnya benar-benar ngga bisa mas? Ini Rino yang minta. Dia maunya pergi sama mas.”, ujarku.
“Yaudah deh..”, jawabnya singkat.
Firasatku mengatakan mas Dio tak akan datang. Namun aku tak mungkin menolak permintaan anakku. Tak setiap hari dia minta sesuatu padaku.
*********
“Bun, ayah mana sih? Rino udah laper nihh..” rengek Rino.
“Ayah kayaknya masih ada kerjaan nak. Rino berdua bunda aja yuk makan pizzanya.”, bujukku.
“Ngga ah. Kan ayah udah janji. Rino mau nunggu ayah ajaa..”, ucapnya sambil duduk menunggu ayahnya.
Mas Dio tak bisa dihubungi.
Dan setiap aku tak bisa menghubungi mas Dio, naluriku selalu mengajakku untuk mencari tahu di twitter wanita itu. Iya, Aku tau nama wanita yang tak mau kusebutkan namanya itu. Aku tau banyak tentang dia. Benar saja, status terakhirnya adalah “With ayang..” dan itu di post-kan satu jam yang lalu. Terpukul. Sedih. Dan meskipun aku tau dia sedang bersama wanita itu, aku tetap berharap dia akan datang untuk Rino.
2 jam, 3 jam kami menunggu.. mas Dio tak kunjung datang, hingga akhirnya Rino tertidur.
“Kasihan anakku. Maafkan ibu nak, membawamu dalam keadaan ini.”
Aku geram. Aku marah. Aku kecewa. Namun dia masih suamiku. Bodohkah aku bertahan?

*********
Teruntuk kamu, wanita teman “bermain” suamiku ..
Apakah kau yakin dia benar mencintaimu? Apakah sama yang dia katakan dan dia lakukan? Apakah yang diucapkan untukku diucapkan juga padamu? Apakah kamu pernah membayangkan bila kamu yang ada di posisiku?

Suamiku,
Maafkan aku yang dulu memperlakukanmu terlalu kejam. Aku sungguh ingin berubah menjadi yang lebih baik untuk semuanya, terutama keluarga kecil kita. Tapi tak bisakah kita berubah bersam? Aku sungguh sudah tak kuat dengan sikapmu yang seperti ini. Bila kau tak bisa melakukan ini untukku, setidaknya kau lakukan ini untuk Rino, anak kita. Tak bisakah?
  

No comments: